Di sebuah Departemen Store di Makassar telah menjadi saksi
pertemuan saya dengan seorang gadis manis yang bernama Tri Haryati.
Awal kisah :
Saya adalah
sosok pemuda yang biasa saja yang terlahir dari keluarga sederhana dan bermukim
di sebuah dusun kecil di Kabupaten Gowa. Saya pernah mengecap dunia pendidikan
di bangku madrasah Aliyah Swasta. Selepas dari sekolah, saya terjerumus kedalam
pergaulan yang cukup nakal. Saya malah menjadi sosok pemuda yang suka
membangkang, mabuk-mabukan, dan malas jika berada dalam rumah.
Hari demi
hari ku lalui itu semua, hingga keluargaku mulai terusik dan tidak tenang
dengan tingkahku. Akhirnya orangtuaku berinesiatif agar saya mencari kerja di
kota. Berkat ancaman dan bahkan saya dipukul oleh ayahandaku yang kini telah menghadap Ilahi,
maka sayapun menuruti semuanya. Saya berangkat ke rumah tanteku di
Sungguminasa. Disitulah saya melamar pekerjaan disalah satu departemen store
dan akhirnya saya diterima. Alhamdulillah ya Allah….!
Menjalani
hari-hari di dunia pekerjaan, tangan Allah memperkenalkan saya dengan sosok
gadis manis yang sengaja diperbantukan dari Jakarta untuk menjadi senior dan
sekaligus mendidik kami yang nota bene masih karyawan baru
Awalnya
hubungan kami hanyalah antara senior dan junior saja. Setiap hari kerja, kami
sering beristrahat di tempat yang sama sehingga muncul benih-benih cinta dalam
hatiku. Sang gadis cantik ini malah meminta untuk diperkenalkan dengan adat
budaya dan tempat rekreasi favorit yang ada di Makassar dan sekitarnya.
Satu bulan
telah berlalu, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatiku
yang sebenarnya. Tapi itu tidak mudah, setiap kali kucoba, setiap kali dia
menolak dengan halus. Namanya juga lelaki, saya tidak surut dan tetap mencoba,
dan akhirnya jam 22.00 saya pun diterimanya. Tepat tanggal 15 april 2002.
Setelah itu,
kami menjalani hubungan ini dengan begitu romantic dan saling menyayangi serta
mencintai. Dunia terasa hanya milik kami berdua. Akhirnya kami bersatu dan
menikah di Kelurahan Panjatan, kecamatan Karang Anyar, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah.
Ijab kobul
terjadi, ikrar setia bersama, cincin terikat di jari manis, bulan madu telah
menjadi kewajiban, hidup terasa indah, setiap saat bersama bagai Romi dan
Juliet. Dengan izin Allah, kami berdua dipercayakan menjadi sepasang orangtua
yang berbahagia dengan lahirnya buah hati kami pada tanggal 20 Mei 2003 di
Lamuru, Desa Sunggumanai kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa, Sul-Sel yang
kami beri nama “Ahmad Satria Anugrah”. Inilah kado terindah yang kami dapatkan,
lengkaplah sudah kebahagian kami. Gelar AYAH dan MAMA telah kami sandang ibarat
raja dan ratu penguasa.
Setelah 3
tahun kemudian, keluarga kami mulai terkoyak oleh keegoisan dari orangtua kami.
Ada yang menginginkan kami tinggal di Makassar, ada yang memaksa kami tinggal
di Jawa. Sebagai keluarga kecil, kami hanya ingin hidup tenang, mandiri dan
jauh dari keduanya. Tetapi dalam rencana itu, kakak kandung saya memukuli anak
dan istri saya seperti binatang menerkam mangsanya. Dia begitu menghancurkanku.
Sebelum balik ke Makassar kami sempat tinggal selama beberapa bulan di ibu kota
Jakarta.
Akhirnya
kami pun sepakat hijrah ke Jawa, karena tidak nyaman lagi di Makassar. Dengan
isak tangis dari kedua orang tuaku, mereka ikhlas melepaskan kepergian kami di
pelabuhan Soekarna-Hatta Makassar menuju ke Pulau Jawa. Berat sekali saya
melihat isak tangis mereka, tetapi demi anak istriku, saya harus kuat untuk
meninggalkan orangtuaku demi keutuhan keluarga kecilku. Sehari semalam
mengarungi selat Makassar, akhirnya kami turun di Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya dan melanjutkan ke Kebumen. Saya memulai kehidupanku disana dengan
pekerjaan yang sebelumnya tidak saya lakukan sejak di Makassar. Saya menjadi
buruh bangunan lepas, buruh tani, buruh aspal dan bahkan menjadi pembuat batu
merah. Begitu besar dan beratnya tantangan hidup di Jawa, dengan segala
keringat piluh ku tetap tersenyum demi senyum manis anak dan istriku.
Begitu susah
payah menghidupi keluarga, ternyata tidak serta merta masalah berakhir.
Ayahanda sakit keras di kampong, tetapi mertuaku tidak mengizinkan kami balik
menjenguknya. Bahkan keluar kata-kata tak pantas untuk seorang mertua kepada
menantunya. Sering kali aku memohon, tapi tak digubris juga.
Melihat
kenyataan pahit itu, istri dan anakku tidak diizinkan untuk ikut bersamaku.
Akupun memberanikan diri untuk meninggalkan mereka. Tiket kapal telah ditangan,
bus sudah menjemput. Saat itu yang saya rasakan bagaikan menggenggam bara api,
kulangkahkan kaki keluar dan segera menaiki bus menuju kota Jogjakarta. Begitu
hancur batin ini seperti tiada daya. Tetesan airmata tidak terbendum seiring
deruh bus melaju dan akhirnya sampai ke Jogja.sekitar satu jam saya menunggu
bus untuk melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat
itu hatiku meronta dan berkecamuk. Ku beranikan diri untuk merobek tiket kapal
dan membatalkan berangkat ke Makassardan ku berlari mencari bus arah balik ke
Kebumen. Pas jam 24.00 saya pun sampaikembali di rumah, istri kaget melihat
kenyataan ini. Dalam hati, saat itu lebih mementingkan istri dan anak daripada
pulang ke Makassar.
Setelah
bali, saya pikir mertuaku akan iba, tapi ternyata, itu nol besar. Mereka tetap
dengan pendirian mereka. Itu terbukti disaat ayahanda makin parah
penyakitnya,tapi tetap tidak mengizinkan kami balik ke Makassar.
BERSAMBUNG
0 Response to "SEPENGGAL KISAH DARI SANG AYAH PENUH DUKA"
Post a Comment