Dahsyatnya Gelombang Penghancur Iman
Dan Akhlaq
Ada gelombang dahsyat yang menimpa
ummat Islam sedunia, yaitu gelombang budaya jahiliyah yang merusak akhlaq dan
aqidah manusia yang disebarkan lewat televisi dan media lainnya. Gelombang itu
pada hakekatnya lebih ganas dibanding senjata-senjata nuklir yang sering dipersoalkan
secara internasional. Hanya saja gelombang dahsyat itu karena sasarannya
merusak akhlaq dan aqidah, sedang yang paling menjunjung tinggi akhlaq dan
aqidah itu adalah Islam, maka yang paling prihatin dan menjadi sasaran adalah
ummat Islam. Hingga, sekalipun gelombang dahsyat itu telah melanda seluruh
dunia, namun pembicaraan hanya sampai pada tarap keluhan para ulama dan
Muslimin yang teguh imannya, serta sebagian ilmuwan yang obyektif.
Gelombang dahsyat itu tak lain adalah
budaya jahiliyah yang disebarkan lewat aneka media massa, terutama televisi,
VCD/ CD, radio, majalah, tabloid, koran,dan buku-buku yang merusak akhlak.
Dunia Islam seakan menangis menghadapi
gelombang dahhsyat itu. Bukan hanya di Indonesia, namun di negara-negara lain
pun dilanda gelombang dahsyat yang amat merusak ini.
Di antara pengaruh negatif televisi
adalah membangkitkan naluri kebinatangan secara dini... dan dampak dari itu
semua adalah merosotnya akhlak dan kesalahan yang sangat mengerikan yang
dirancang untuk menabrak norma-norma masyarakat. Ada sejumlah contoh bagi kita
dari pengkajian Charterz (seorang peneliti) yang berharga dalam masalah ini di
antaranya ia berkata: “Sesungguhnya pembangkitan syahwat dan penayangan
gambar-gambar porno, dan visualisasi (penampakan gambar) trik-trik porno, di
mana sang bintang film menanamkan rasa senang dan membangkitkan syahwat bagi
para penonton dengan cara yang sangat fulqar
bagi kalangan anak-anak dan remaja itu amat sangat berbahaya.”
Peneliti ini telah mengadakan
statistik kumpulan film-film yang ditayangkan untuk anak-anak sedunia, ia
mendapatkan bahwa:
·
29,6%
film anak-anak bertemakan seks
·
27,4%
film anak-anak tentang menanggulangi kejahatan
·
15%
film anak-anak berkisar sekitar percintaan dalam arti syahwat buka-bukaan.
Terdapat pula film-film yang
menampilkan kekerasan yang menganjurkan untuk balas dendam, memaksa, dan
brutal.
Hal itu dikuatkan oleh sarjana-sarjana
psikologi bahwa berlebihan dalam menonton program-program televisi dan film
mengakibatkan kegoncangan jiwa dan cenderung kepada sifat dendam dan merasa
puas dengan nilai-nilai yang menyimpang. (Thibah Al-Yahya, Bashmat ‘alaa
waladi/ tanda-tanda atas anakku, Darul Wathan, Riyadh, cetakan II, 1412H, hal
28).
Jangkauan lebih luas
Apa yang dikemukakan oleh peneliti
beberapa tahun lalu itu ternyata tidak menjadi peringatan bagi para perusak
akhlaq dan aqidah. Justru mereka tetap menggencarkan program-programnya dengan
lebih dahsyat lagi dan lebih meluas lagi jangkauannya, melalui produksi VCD dan
CD yang ditonton oleh masyarakat, dari anak-anak sampai kakek- nenek, di rumah
masing-masing. Gambar-gambar yang merusak agama itu bisa disewa di
pinggir-pinggir jalan atau dibeli di kaki lima dengan harga murah. Video dan
komputer/ CD telah menjadi sarana penyaluran budaya kaum jahili untuk merusak
akhlaq dan aqidah ummat Islam. Belum lagi situs-situs porno di internet.
Budaya jahiliyah itu jelas akan
menjerumuskan manusia ke neraka. Sedangkan Allah Subhannahu wa Ta'ala
memerintahkan kita agar menjaga diri dan keluarga dari api Neraka. Firman
Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS At-Tahriim: 6).
Sirkulasi perusakan akhlaq dan aqidah
Dengan ramainya lalulintas tayangan
yang merusak aqidah dan akhlaq lewat berbagai jalur itu penduduk dunia -dalam
pembicaraan ini ummat Islam-- dikeroyok oleh syetan-syetan perusak akhlaq dan
aqidah dengan aneka bentuk. Dalam bentuk gambar-gambar budaya jahiliyah, di
antaranya disodorkan lewat televisi, film-film di VCD, CD, bioskop,
gambar-gambar cetak berupa foto, buku, majalah, tabloid dsb. Bacaan dan cerita
pun demikian.
Tayangan, gambar, suara, dan bacaan
yang merusak aqidah dan akhlaq itu telah mengeroyok Muslimin, kemudian
dipraktekkan langsung oleh perusak-perusak aqidah dan akhlaq dalam bentuk diri
pribadi, yaitu perilaku. Lalu masyarakatpun meniru dan mempraktekkannya.
Sehingga praktek dalam kehidupan sehari-hari yang sudah menyimpang dari akhlaq
dan aqidah yang benar itupun mengepung ummat Islam.
Dari sisi lain, praktek tiruan dari
pribadi-pribadi pendukung kemaksiatan itupun diprogramkan pula untuk dipompakan
kepada masyarakat dengan aneka cara, ada yang dengan paksa, misalnya
menyeragami para wanita penjaga toko dengan pakaian ala jahiliyah. Sehingga,
ummat Islam didesak dengan aneka budaya yang merusak aqidah dan akhlaq, dari
yang sifatnya tontonan sampai praktek paksaan.
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa
Salam memperingatkan agar ummat Islam
tidak mematuhi suruhan siapapun yang bertentangan dengan aturan Allah swt. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam Bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ
اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. (رواه أحمد في مسنده
“Tidak
ada ketaatan bagi makhluk dalam maksiat pada Allah Tabaraka wa Ta’ala.” (
Hadits Riwayat Ahmad, dalam Musnadnya nomor 20191).
Sikap Ummat Islam
Masyarakat Muslim pun beraneka ragam
dalam menghadapi kepungan gelombang dahsyat itu. Golongan pertama, prihatin
dengan bersuara lantang di masjid-masjid, di majlis-majlis ta’lim dan
pengajian, di tempat-tempat pendidikan, dan di rumah masing-masing. Mereka
melarang anak-anaknya menonton televisi karena hampir tidak diperoleh manfaat
darinya, bahkan lebih besar madharatnya. Mereka merasakan kesulitan dalam
mendidikkan anak-anaknya. Kemungkinan, tinggal sebagian pesantrenlah yang
relatif lebih aman dibanding pendidikan umum yang lingkungannya sudah tercemar
akhlaq buruk.
Ummat Islam adalah golongan pertama
yang ingin mempertahan-kan aqidah dan akhlaq anak-anaknya itu, di bumi zaman
sekarang ini ibarat orang yang sedang dalam keadaan menghindar dari serangan
musuh. Harus mencari tempat perlindungan yang sekira-nya aman dari aneka
“peluru” yang ditembakkan. Sungguh!
Golongan kedua, Ummat Islam yang
biasa-biasa saja sikapnya. Diam-diam masyarakat Muslim yang awam itu justru
menikmati aneka tayangan yang sebenarnya merusak akhlaq dan aqidah mereka
dengan senang hati. Mereka beranggapan, apa-apa yang ditayangkan itu sudah
lewat sensor, sudah ada yang bertanggung jawab, berarti boleh-boleh saja.
Sehingga mereka tidak merasa risih apalagi bersalah. Hingga mereka justru
mempersiap-kan aneka makanan kecil untuk dinikmati sambil menonton
tayangan-tayangan yang merusak namun dianggap nikmat itu. Sehingga mereka pun
terbentuk jiwanya menjadi penggemar tayangan-tayangan itu, dan ingin
mempraktekkannya dalam kehidupan. Tanpa disarari mereka secara bersama-sama
dengan yang lain telah jauh dari agamanya.
Golongan ketiga, masyarakat yang juga
mengaku Islam, tapi lebih buruk dari sikap orang awam tersebut di atas. Mereka
berangan-angan, betapa nikmatnya kalau anak-anaknya menjadi pelaku-pelaku yang
ditayangkan itu. Entah itu hanya jadi penjoget di belakang penyanyi (namanya
penjoget latar), atau berperan apa saja, yang penting bisa tampil.
Syukur-syukur bisa jadi bintang top yang mendapat bayaran besar. Mereka tidak
lagi memikir tentang akhlaq, apalagi aqidah. Yang penting adalah hidup senang,
banyak duit, dan serba mewah, kalau bisa agar terkenal. Untuk mencapai ke
“derajat” itu, mereka berani mengorbankan segalanya termasuk apa yang dimiliki
anaknya. Na’udzubillaah. Ini sudah bukan rahasia lagi bagi orang yang tahu
tentang itu. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.
Golongan pertama yang ingin
mempertahankan akhlaq dan aqidah itu dibanding dengan golongan yang ketiga yang
berangan-angan agar anaknya ataupun dirinya jadi perusak akhlaq dan aqidah,
boleh jadi seimbang jumlahnya. Lantas, golongan ketiga --yang ingin jadi pelaku
perusak akhlaq dan aqidah itu-- digabung dengan golongan kedua yang merasa
nikmat dengan adanya tayangan maksiat, maka terkumpullah jumlah mayoritas.
Hingga Muslimin yang mempertahankan akhlaq dan aqidah justru menjadi minoritas.
Itu kenyataan. Buktinya, kini masyarakat
jauh lebih meng-unggulkan pelawak daripada ulama’. Lebih menyanjung penyanyi
dan penjoget daripada ustadz ataupun kiyai. Lebih menghargai bintang film
daripada guru ngaji. Dan lebih meniru penjoget daripada imam masjid dan khatib.
Ungkapan ini secara wajar tampak
hiperbol, terlalu didramatisir secara akal, tetapi justru secara kenyataan
adalah nyata. Bahkan, bukan hanya suara ulama’ yang tak didengar, namun
Kalamullah pun sudah banyak tidak didengar. Sehingga, suara penyayi, pelawak,
tukang iklan dan sebagainya lebih dihafal oleh masyarakat daripada Kalamullah,
ayat-ayat Al-Quran. Fa nastaghfirulaahal ‘adhim.
Tayangan-tayangan televisi dan lainnya
telah mengakibatkan berubahnya masyarakat secara drastis. Dari berakhlaq mulia
dan tinggi menjadi masyarakat tak punya filter lagi. Tidak tahu mana yang
ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (jelek dan dilarang). Bahkan dalam praktek
sering mengutamakan yang jelek dan terlarang daripada yang baik dan
diperintahkan oleh Allah SWT.
Berarti manusia ini telah merubah keadaan
dirinya. Ini mengakibatkan dicabutnya ni’mat Allah akibat perubahan tingkah
manusia itu sendiri, dari baik menjadi tidak baik. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d/ 13:11).
Mencampur kebaikan dengan kebatilan
Kenapa masyarakat tidak dapat
membedakan kebaikan dan keburukan? Karena “guru utama mereka” adalah televisi.
Sedang program-program televisi adalah menampilkan aneka macam yang campur
aduk. Ada aneka macam kebohongan misalnya iklan-iklan yang sebenarnya bohong,
tak sesuai dengan kenyataan, namun ditayangkan terus menerus. Kebohongan ini
kemudian dilanjutkan dengan acara tentang ajaran kebaikan, nasihat atau
pengajian agama. Lalu ditayangkan film-film porno, merusak akhlaq, merusak
aqidah, dan menganjurkan kesadisan. Lalu ditayangkan aneka macam perkataan
orang dan berita-berita yang belum tentu mendidik. Sehingga, para penonton
lebih-lebih anak-anak tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Masyarakat pun demikian. Hal itu berlangsung setiap waktu, sehingga dalam tempo
sekian tahun, manusia Muslim yang tadinya mampu membedakan yang haq dari yang
batil, berubah menjadi manusia yang berfaham menghalalkan segala cara,
permissive atau ibahiyah, apa-apa boleh saja.
Munculnya masyarakat permissive itu
karena adanya penyingkiran secara sistimatis terhadap aturan yang normal, yaitu
larangan mencampur adukkan antara yang haq (benar) dan yang batil. Yang
ditayangkan adalah jenis pencampur adukan yang haq dan yang batil secara terus
menerus, ditayangkan untuk ditonton oleh masyarakat. Padahal Allah Subhannahu
wa Ta'ala telah melarang pencampur adukan antara yang haq dengan yang batil:
“Dan
janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kamu
sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42).
Dengan mencampur adukkan antara yang
benar dengan yang batil secara terus menerus, akibatnya mempengaruhi manusia
untuk tidak menegakkan yang haq/ benar dan menyingkirkan yang batil. Kemudian
berakibat tumbuhnya jiwa yang membolehkan kedua-duanya berjalan, akibatnya
lagi, membolehkan tegaknya dan merajalelanya kebatilan, dan akibatnya pula
menumbuhkan jiwa yang berpandangan serba boleh. Dan terakhir, tumbuh jiwa yang
tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Lantas, kalau
sudah tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq
dan mana yang batil, lantas keimanannya di mana?
Menipisnya keimanan itulah bencana
yang paling parah yang menimpa ummat Islam dari proyek besar-besaran dan sistimatis
serta terus menerus yang diderakan kepada ummat Islam sedunia. Yaitu proyek
mencampur adukkan antara kebaikan dan keburukan lewat aneka tayangan. Apakah
upaya kita untuk membentengi keimanan kita?
0 Response to "Dahsyatnya Gelombang Penghancur Iman Dan Akhlaq"
Post a Comment